Jumat, 16 November 2012

Tentang UU No.17 tahun 2012

Undang-undang Koperasi Nomor 25 Tahun 1992 perlu diganti, karena sudah tidak selaras dengan kebutuhan hukum dan perkembangan perkoperasian di Indonesia. Inilah landasan utama Kementerian Koperasi dan UKM untuk melahirkan Undang-undang Perkoperasian terbaru. 

Namun,  realitanya  kelahiran  UU  Koperasi baru ini disambut dengan pro kontra, karena  khawatir  akan  membahayakan perkembangan koperasi di Indonesia, kuatnya fungsi  pengawasan  dan  hilangnya  istilah  pengelola. Tidak hanya itu, pada UU baru  juga menghilangkan  istilah  simpanan  pokok, simpanan wajib dan simpanan sukarela,   dengan  memunculkan  istilah  setoran  pokok  dan  sertifikat  modal koperasi pada saat pendirian. 
Kepala  Dinas  Koperasi  Provinsi  Kalbar  Ignasius IK, mengatakan seharusnya di dalam  UU  baru  ini tidak perlu menghapus istilah-istilah tersebut, karena pada hakekatnya sama. “Simpanan  wajib  ini  akan  menjadi  keterikatan  anggota,  dari sana kita bisa melihat  loyalitas  anggota terhadap koperasi. Hal ini akan berdampak ke depan,” kata  Ignasius, dalam kegiatan diskusi kritis menyambut pengesahan Undang-Undang Koperasi Baru di Kantor DPD RI Perwakilan Kalbar, Senin, (12/11) kemarin. Menurutnya,  ketentuan ini akan menjadi buah simalakama, karena UU koperasi lama belum  mampu  menopang  koperasi  serta  mendukung optimal kinerja, sedangkan di
ketentuan  baru terdapat kelemahan-kelemahan, terutama dalam pasal tertentu yang berpihak  pada  koperasi,  namun  karena  tidak diperkuat dengan kedua peraturan tersebut pada akhirnya implementasi menjadi sulit. 


“Kita   meminta   pemerintah   segera   menindaklanjuti kehadiran  Undang-Undang Perkoperasian  terbaru  dengan  menerbitkan Peraturan  Pemerintah,  waktu masih diberikan  2  tahun  lagi,  kita  ingin  pendapat dan aspirasi dari daerah dapat

disampaikan  kepada  pemerintah  pusat.  Jangan  sampai kehadirannya sama dengan Undang-undang Koperasi Nomor 25 Tahun 1992,” ujarnya.  


Kehadiran  UU  Koperasi  Nomor  17  Tahun  2012 tentang Koperasi ini, Ketua Umum Puskopdit  Borneo  Andi  Aziz  mengungkapkan kekecewaannya dengan keputusan yang dibuat Pemerintah Pusat. Karena  dampaknya,  UU  ini  juga  akan  mengatur  pada  perubahan nama, hak dan wewenang  koperasi.  “Masih banyak kelemahannya, dan sangat disesalkan tidak ada perubahan  dari rancangan yang dibuat, dan usulan-usulan yang diberikan terutama koperasi  di daerah Kalbar tidak diakomodir, perlu ada masukan kembali khususnya

koperasi  di  Kalbar,”  pintanya,  saat diwawancara Borneo Tribune, usai diskusi kemarin.
Menurutnya,  jika  aturan  ini  diberlakukan  maka  akan  ada  beberapa hal yang berkaitan  dengan  kredibilitas  kepengurusan  di  koperasi mengalami perubahan, sehingga dampaknya sangat pesat. Maka,  ia  meminta melalui pemerintah daerah untuk menampung dan memberi masukan melalui  peraturan  pemerintah,  yang  diberi  jangka waktu dua tahun mendatang.

“Harapan  kami  ada  perubahan  dari  usulan  yang  dimasukkan  ke PP (peraturan pemerintah, red),” pinta Andi. Anggota   Senat   DPD   RI  Daerah  Pemilihan  Kalbar  Erma  Suryani  Ranik,  SH mengungkapkan  sebanyak 30 persen warga Kalbar akan terpengaruh dengan adanya UU Perkoperasian baru ini. 

Dikatakannya,  ia  sebagai  warga  Kalbar  dan  anggota  dari  Credit Union (CU) menginginkan  mampu  memberikan  rekomendasi  kepada  pemerintah  pusat  terkait pengaturan credit union. “Saya  akan marah jika CU di Kalbar terpaksa dihapus atau ditutup, tidak mungkin nama CU berubah menjadi koperasi simpan pinjam,” kata Erma. Ia  mengaku,  Kalbar sebagai basis pengembangan credit union telah mampu menjadi penggerak ekonomi rakyat pedesaan. Namun,  ia  sangat  menyayangkan  tindakan  pemerintah  pusat  yang  tidak mampu mengakomodir  rekomendasi  dan  pandangan  dari  DPD  RI  untuk  ditindaklanjuti
sebagai masukan. 

“Pemerintah   pusat  cenderung  sentralistik  dan  tidak  melibatkan  pemerintah daerah,  ditambah  lagi  fungsi  legislasi  yang  tidak maksimal oleh konstitusi sehingga  banyak  pandanga  dan pendapat DPD RI tidak diakomodir DPR RI,” ungkap Erma. 
Ia  mengatakan,  ada  beberapa  hal  pendapat  dan  rekomendasi yang disampaikan melalui  keputusan  DPD  RI  Nomor  56/DPD RI/IV/2010-2011 tentang pandangan dan pendapat  DPD  RI  atas  rancangan  UU  tentang  koperasi tidak menjadi gambaran
terhadap  UU Perkoperasian baru, UU Nomor 17 Tahun 2012 ini hanya mampu menjawab persoalan koperasi yang ada di Pulau Jawa saja. 
“Maka  kami ingin melakukan pemetaan kritis terhadap persoalan UU Koperasi baru, karena  terbitnya  UU baru ini akan berdampak pada CU ke depan, kita berharap CU proaktif  terhadap UU baru ini, karena masih ada celah untuk saran dan masukan,” harap Erma. 

1 komentar: