Undang-undang Koperasi Nomor 25 Tahun 1992 perlu diganti, karena sudah tidak selaras dengan kebutuhan hukum dan perkembangan perkoperasian di Indonesia. Inilah landasan utama Kementerian Koperasi dan UKM untuk melahirkan Undang-undang Perkoperasian terbaru.
Namun, realitanya kelahiran UU Koperasi baru ini disambut dengan pro kontra, karena khawatir akan membahayakan perkembangan koperasi di Indonesia, kuatnya fungsi pengawasan dan hilangnya istilah pengelola. Tidak hanya itu, pada UU baru juga menghilangkan istilah simpanan pokok, simpanan wajib dan simpanan sukarela, dengan memunculkan istilah setoran pokok dan sertifikat modal koperasi pada saat pendirian.
Kepala Dinas Koperasi Provinsi Kalbar Ignasius IK, mengatakan seharusnya di dalam UU baru ini tidak perlu menghapus istilah-istilah tersebut, karena pada hakekatnya sama. “Simpanan wajib ini akan menjadi keterikatan anggota, dari sana kita bisa melihat loyalitas anggota terhadap koperasi. Hal ini akan berdampak ke depan,” kata Ignasius, dalam kegiatan diskusi kritis menyambut pengesahan Undang-Undang Koperasi Baru di Kantor DPD RI Perwakilan Kalbar, Senin, (12/11) kemarin. Menurutnya, ketentuan ini akan menjadi buah simalakama, karena UU koperasi lama belum mampu menopang koperasi serta mendukung optimal kinerja, sedangkan di
ketentuan baru terdapat kelemahan-kelemahan, terutama dalam pasal tertentu yang berpihak pada koperasi, namun karena tidak diperkuat dengan kedua peraturan tersebut pada akhirnya implementasi menjadi sulit.
“Kita meminta pemerintah segera menindaklanjuti kehadiran Undang-Undang Perkoperasian terbaru dengan menerbitkan Peraturan Pemerintah, waktu masih diberikan 2 tahun lagi, kita ingin pendapat dan aspirasi dari daerah dapat
disampaikan kepada pemerintah pusat. Jangan sampai kehadirannya sama dengan Undang-undang Koperasi Nomor 25 Tahun 1992,” ujarnya.
Kehadiran UU Koperasi Nomor 17 Tahun 2012 tentang Koperasi ini, Ketua Umum Puskopdit Borneo Andi Aziz mengungkapkan kekecewaannya dengan keputusan yang dibuat Pemerintah Pusat. Karena dampaknya, UU ini juga akan mengatur pada perubahan nama, hak dan wewenang koperasi. “Masih banyak kelemahannya, dan sangat disesalkan tidak ada perubahan dari rancangan yang dibuat, dan usulan-usulan yang diberikan terutama koperasi di daerah Kalbar tidak diakomodir, perlu ada masukan kembali khususnya
koperasi di Kalbar,” pintanya, saat diwawancara Borneo Tribune, usai diskusi kemarin.
Menurutnya, jika aturan ini diberlakukan maka akan ada beberapa hal yang berkaitan dengan kredibilitas kepengurusan di koperasi mengalami perubahan, sehingga dampaknya sangat pesat. Maka, ia meminta melalui pemerintah daerah untuk menampung dan memberi masukan melalui peraturan pemerintah, yang diberi jangka waktu dua tahun mendatang.
“Harapan kami ada perubahan dari usulan yang dimasukkan ke PP (peraturan pemerintah, red),” pinta Andi. Anggota Senat DPD RI Daerah Pemilihan Kalbar Erma Suryani Ranik, SH mengungkapkan sebanyak 30 persen warga Kalbar akan terpengaruh dengan adanya UU Perkoperasian baru ini.
Dikatakannya, ia sebagai warga Kalbar dan anggota dari Credit Union (CU) menginginkan mampu memberikan rekomendasi kepada pemerintah pusat terkait pengaturan credit union. “Saya akan marah jika CU di Kalbar terpaksa dihapus atau ditutup, tidak mungkin nama CU berubah menjadi koperasi simpan pinjam,” kata Erma. Ia mengaku, Kalbar sebagai basis pengembangan credit union telah mampu menjadi penggerak ekonomi rakyat pedesaan. Namun, ia sangat menyayangkan tindakan pemerintah pusat yang tidak mampu mengakomodir rekomendasi dan pandangan dari DPD RI untuk ditindaklanjuti
sebagai masukan.
“Pemerintah pusat cenderung sentralistik dan tidak melibatkan pemerintah daerah, ditambah lagi fungsi legislasi yang tidak maksimal oleh konstitusi sehingga banyak pandanga dan pendapat DPD RI tidak diakomodir DPR RI,” ungkap Erma.
Ia mengatakan, ada beberapa hal pendapat dan rekomendasi yang disampaikan melalui keputusan DPD RI Nomor 56/DPD RI/IV/2010-2011 tentang pandangan dan pendapat DPD RI atas rancangan UU tentang koperasi tidak menjadi gambaran
terhadap UU Perkoperasian baru, UU Nomor 17 Tahun 2012 ini hanya mampu menjawab persoalan koperasi yang ada di Pulau Jawa saja.
“Maka kami ingin melakukan pemetaan kritis terhadap persoalan UU Koperasi baru, karena terbitnya UU baru ini akan berdampak pada CU ke depan, kita berharap CU proaktif terhadap UU baru ini, karena masih ada celah untuk saran dan masukan,” harap Erma.
Komentar ini telah dihapus oleh administrator blog.
BalasHapus